Laman

Jumat, 20 Maret 2015

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI PANTAI PASURUAN JAWA TIMUR

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN HUTAN MANGROVE
DI PANTAI PASURUAN JAWA TIMUR


ABSTRAK
Hutan mangrove pantai Pasuruan telah terdegradasi baik luasan maupun diversitasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui.
1.       faktor-faktor penyebab degradasi hutan mangrove di Pantai Pasuruan,
2.       Persepsi penduduk pesisir terhadap hutan mangrove dan
3.       menemukan model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di daerah penelitian.
    Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan tiga langkah penelitian,
1. wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk menentukan faktor penyebab kerusakan hutan mangrove,
2. wawancara dengan penduduk pesisir untuk mengetahui persepsi penduduk terhadap hutan mangrove,
3. Dengan Focus Group Discussion (FGD) untuk mencari model pemberdayaan masyarakat dalam       pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di pantai Pasuruan.
            Sampel ditentukan  di tiga wilayah yang mewakili pantai bagian timur, bagian tengah dan bagian barat. Masing-masing wilayah diambil tiga desa dengan ketebalan hutan mangrove yang berbeda-beda.

Hasil penelitian menunjukkan

1.       Penebangan liar dan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama degradasi hutan mangrove di daerah penelitian disebabkan oleh kemiskinan dan kebodohan 
2.        Sebagian besar penduduk memahami fungsi ekologis hutan mangrove tetapi kurang dalam ”rasa memiliki”,
3.        model pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove yang paling baik di pantai Pasuruan adalah model ”Sosio-eko-regulasi” yaitu keseluruhan pengambilan keputusan ditentukan oleh kelompok, peran pemerintah sebagai pendukung dana dan penguatan dalam bidang regulasi.

Kata kunci : hutan mangrove,  degradasi, model pemberdayaan masyarakat.








PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang
Salah satu ekosistem pesisir yang sangat penting adalah ekosistem hutan mangrove. Di samping nilai ekonomis yang dapat diambil secara langsung (misalnya batang, akar, daun dan buah) , hutan mangrove juga berperan terhadap perekonomian pantai secara tidak langsung karena mendukung keberadaan ekosistem lain di sekitarnya seperti   perikanan pantai, terumbu karang, dan padang lamun. Selain itu keberadaan hutan mangrove juga penting secara ekologis karena mendukung rantai makanan di sekitarnya (Arief, 2003), melindungi pantai dari angin kencang, abrasi maupun tsunami (Suprayogo, dkk 1996), sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan berbagai binatang pesisir dan lautan, menjaga air tanah dari intrusi air laut, dan akarnya dapat mengkoloni sedimen (Dahuri dkk, 2001;  Arief , 2003 dan Soemarno, 2004).  Kesemua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumberdaya renewable jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa gangguan. (Kusmana , 2007)
Permasalahan utama mengenai hutan mangrove adalah terjadinya degradasi baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat mengganggu fungsi ekonomis dan ekologisnya. Tekanan terhadap habitat hutan mangrove ini bersumber dari kebutuhan manusia untuk mengonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian (Dahuri dkk., 2001). Secara turun-temurun masyarakat menganggap bahwa hutan mangrove sebagai lahan kosong (lahan tidak bermanfaat) sehingga seringkali dengan sengaja dialih fungsikan menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih menguntungkan, misalnya untuk perkembangan kota, daerah pertanian, atau untuk aquakultur (Franks and Falcover, 1999). Selain itu meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu juga menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Kegiatan terakhir ini memberi kontribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem hutan mangrove.Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsi hutan mangrove menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.(Supriharyono, 2002).
Hasil penelitian Muryani (2008) menunjukkan telah terjadi degradasi hutan mangrove di pantai Pasuruan baik secara kuantitas maupun kualitas. Berbagai upaya reboisasi hutan mangrove telah dilakukan oleh Pemerintah  Kabupaten dan Kota Pasuruan yaitu dengan mengalokasikan dana reboisasi hutan mangrove setiap tahunnya, namun tingkat keberhasilannya kurang dari 50 % dan  perusakan hutan mangrove masih saja berlangsung sampai sekarang.  Hasil observasi tim peneliti menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya lahan pesisir khususnya hutan mangrove sangat kurang dan sebagian besar justru berperilaku merusak. Oleh sebab itu perlu ada upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya lahan pesisir khususnya hutan mangrove di pantai Pasuruan untuk dapat mengatasi masalah langsung dari sumbernya.Saenger (1999) menyatakan bahwa terdapat mata rantai antara kondisi lingkungan, kondisi ekonomi dan kondisi masyarakat yang merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.  Untuk mencapai keseimbangan antara pemanfaatan yang berkelanjutan serta harapan masyarakat, diusulkan hal-hal sebagai berikut :
A.      memberi tempat pada konvensi masyarakat,
B.       zoning ekosistem mangrove,
C.       pengembangan rencana pengelolaan hutan mangrove,
D.       menaksir kembali nilai hutan mangrove,
E.        peningkatan penyuluhan kepada masyarakat, dan
F.        rehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi
Penelitian ini mencoba menemukan model pemberdayaan masyarakat yang paling tepat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di pantai Pasuruan untuk menghambat laju degradasi hutan mangrove di daerah  ini.

2.  Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.       Menginventarisasi dan mencari faktor-faktor penyebab degradasi hutan mangrove di pantai Pasuruan
2.       Mengetahui persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove
3.       Mencari model pemberdayaan masyarakat yang paling tepat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di pantai Pasuruan

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah di sepanjang pantai Pasuruan (meliputi pantai utara Kabupaten Pasuruan dan pantai utara Kota Pasuruan) Jawa Timur.Pantai Kota Pasuruan sendiri lokasinya di tengah-tengah pantai Kabupaten Pasuruan, sehingga secara geografis analisisnya tidak dapat dipisahkan.
Untuk mencapai tujuan penelitian telah dilakukan tiga langkah, yaitu :
1.       pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mencari faktor-faktor penyebab degradasi hutan mangrove di daerah penelitian
2.        wawancara mendalam dengan penduduk pesisir untuk mengetahui persepsi penduduk terhadap hutan mangrove dan
3.        Focus Group Discussion (FGD) untuk mencari model pemberdayaan masyarakat yang paling tepat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di pantai Pasuruan. FGD dilakukan di masing-masing desa terpilih dengan peserta antara 20 – 25 orang (dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok sekitar 6-8 orang).Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.  Metode FGD dipilih agar model pengelolaan hutan mangrove yang didapat berasal  dari masyarakat sendiri sehingga secara riil dapat dilaksanakan.




HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Faktor-faktor degradasi hutan mangrove
Berdasarkan penelitian Muryani (2008) diperoleh hasil bahwa perubahan tutupan lahan di pantai Pasuruan yang paling besar adalah hutan mangrove menjadi tambak  (tahun  1981-1994 seluas 347,14 ha, tahun  1994 – 2008 seluas  85,95 ha) dan hutan mangrove  menjadi laut  ( tahun 1981 – 1994 seluas 217,21 ha, tahun 1994 – 2008 seluas  2,05 ha). Hal ini membuktikan bahwa  telah terjadi  kerusakan hutan mangrove sangat serius di daerah penelitian yang terutama disebabkan penebangan oleh masyarakat.
Konversi dan hilangnya hutan mangrove tampaknya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi pada dekade terakhir ini saja.Jauh sebelumnya, lebih dari 75 tahun yang lalu, Meindersma telah melaporkan bahwa sangat sulit untuk menemukan hutan mangrove yang alami dan tidak terganggu di Pulau Jawa, kecuali di Segara Anakan dan Teluk Pangong (dekat Selat Bali) (Noor dkk., 1999). Kegiatan pembangunan utama yang memberikan sumbangan terbesar terhadap menurunnya luas areal hutan mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersiil  serta peralihan peruntukan untuk tambak dan areal pertanian. Hasil penelitian Sukardjo dan Yamada (1992) juga menunjukkan bahwa  telah terjadi penebangan ilegal yang cukup serius di hutan mangrove kompleks delta Cimanuk. Akibat yang terlihat nyata adalah pada saat penelitian diadakan sudah tidak dapat ditemukan lagi  vegetasi mangrove yang diameternya di atas 10 cm. dan kerapatan vegetasi yang bernilai komersial (Bruguiera, Ceriops, Rhizophora) juga semakin rendah. Hal ini merupakan indikasi terjadinya degradasi hutan mangrove
Faktor-faktor penyebab kerusakan hutan mangrove di daerah penelitian ditemukan melalui :

a.    Pengamatan lapangan
Hasil pengamatan lapangan pada daerah-daerah yang hutan mangrovenya rusak menunjukkan banyak penduduk setempat yang menebang pohon mangrove, hal ini dapat dilihat dari bekas-bekas penebangan yang berupa tonggak-tonggak pohon mangrove di sepanjang pantai baik untuk dijual maupun untuk pemenuhan kebutuhan keluarga (kayu bakar, bahan bangunan, perbaikan perahu nelayan). Pada waktu pengamatan lapangan ditemui beberapa perahu yang sedang mengangkut kayu mangrove dari arah laut ke dusun. Di Desa Gerongan  Kecamatan Kraton dan Kalurahan Panggung Rejo Kota Pasuruan ditemukan pengepul kayu mangrove yang nantinya dijual ke luar daerah
Penebangan hutan mangrove juga dilakukan penduduk untuk membuka tambak baru, hal ini terlihat pada beberapa  tambak yang masih baru masih terlihat tonggak-tonggak bekas pohon mangrove

b.   Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci. 
 Tokoh-tokoh kunci yang telah diwawancara adalah kepala desa dan stafnya, dan tokoh yang dihormati di lokasi setempat. Ada 6  kepala desa, 3 perangkat desa dan 15 tokoh masyarakat di daerah penelitian yang  telah diwawancarai. Hasil wawancara pada daerah yang hutan mangrovenya rusak menunjukkan  bahwa di sebagian besar daerah penelitian diakui oleh kepala desa, pamong desa dan tokoh masyarakat bahwa kerusakan hutan mangrove di pesisir disebabkan oleh penebangan liar oleh masyarakat sendiri dan alih fungsi lahan menjadi tambak. Pelarangan secara informal telah seringkali dilakukan, namun karena desakan ekonomi maka penebangan liar masih terus berlangsung.  Hal ini ditunjang juga bahwa pencurian kayu mangrove tidak pernah mendapat sangsi hukum dari aparat yang berwenang.

c.    Wawancara langsung dengan penduduk
Hasil wawancara dengan penduduk yang ditemui baru mengangkut kayu hasil penebangan pohon mangrove diperoleh keterangan bahwa penduduk menebang pohon mangrove karena sedikitnya penghasilan penduduk sebagai nelayan.Alasan yang mereka kemukakan bahwa vegetasi yang mereka tebang adalah hasil tanaman mereka sendiri atau ayah/kakek mereka (tidak menebang vegetasi yang ditanam pemerintah).
Penjelasan logis atas kenyataan banyaknya penebangan vegetasi mangrove di daerah penelitian adalah sebagai berikut :

Ø  Hasil budidaya ikan/udang di tambak secara ekonomis jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan  menjadi nelayan. Dengan budidaya ikan/udang di tambak rata-rata memperoleh hasil bersih sekitar 4-5 juta setiap 3 bulan sekali dan masih dapat bekerja yang lain untuk mencari tambahan penghasilan karena curahan waktunya lebih sedikit ; sedangkan penghasilan rata-rata sebagai nelayan hanya sekitar Rp 20.000 – Rp 30.000 per hari dengan curahan waktu dan tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan petani tambak. Dengan demikian penduduk yang mempunyai modal atau memperoleh pinjaman modal akan memilih menjadi petani tambak dibandingkan dengan nelayan. Hal ini ditunjang oleh perijinan membuka tambak baru yang  tidak sulit, yaitu dengan seijin kepala desa dan didaftarkan ke BPN Selama ini belum pernah ada perijinan membuka tambak baru yang ditolak. Oleh karena lahan untuk membuka areal tambak baru sudah habis, satu-satunya lokasi adalah lahan ke arah laut yang berupa ”tanah oloran” (lahan hasil sedimentasi) dengan menebang hutan mangrove. Biasanya hutan mangrove hanya disisakan beberapa meter saja ketebalannya sehingga tidak layak lagi jika disebut hutan. Faktor inilah yang merupakan faktor utama kerusakan hutan mangrove di daerah penelitian.

Ø  Sebagian penduduk terpaksa menebangi pohon mangrove untuk dijual terutama sebagai kayu bakar. Hal ini didukung oleh adanya pengepul kayu mangrove sehingga harga kayu mangrove relatif tinggi, yaitu sekitar Rp 300.000 s/d Rp 400.000 per truck.  Mereka tidak mengetahui bahwa lahan pesisir termasuk hutan mangrove dan tanah di bawahnya adalah milik negara.


Kedua fakta tersebut membuktikan bahwa alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak dan penebangan liar oleh penduduk merupakan faktor utama degradasi hutan mangrove di pantai Pasuruan
Pengamatan lapangan dan wawancara dengan tokoh-tokoh kunci juga dilakukan pada wilayah yang hutan mangrovenya bagus baik ketebalan maupun kerapatanya, yaitu di desa Penunggul, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan.Hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan hutan mangrove di wilayah ini.

v  Hasil pengamatan lapangan terlihat bahwa  tidak ada bekas-bekas pencurian kayu di daerah ini dan ada kegiatan penanaman vegetasi mangrove secara periodik, terbukti dengan adanya kelompok-kelompok vegetasi mangrove dengan spesies dan umur vtertentu. Keseluruhan pesisir desa Penunggul tertutupi hutan mangrove Setiap air laut surut banyak penduduk Desa Penunggul dan sekitarnya mencari kerang, tiram, udang dan kepiting di depan hutan mangrove. Hal ini  membuktikan juga mengenai kebenaran fungsi ekologis hutan mangrove, bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai pemijahan, pengasuhan dan tempat mencari makan berbagai jenis ikan, kerang, tiram dan kepiting

v  Wawancara dengan Kepala Desa  Penunggul beserta staff dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa untuk saat ini tidak ada masyarakat yang berani menebang pohon mangrove, karena takut sangsi dari masyarakat sendiri.  Pengelolaan hutan mangrove dimotori oleh Pak Mukarim, penerima Kalpataru perintis lingkungan pada tahun 2005.  Namun  dari hasil wawancara menunjukkan ada ketidakharmonisan hubungan perangkat desa dengan pak Mukarim karena seringnya tamu datang ke wilayah ini untuk melihat dan meneliti hutan mangrove tetapi langsung mencari pak Mukarim, kurang melibatkan pemerintah desa.

v  Wawancara dengan penduduk Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan mrnunjukkan bahwa mereka telah mempunyai kesadaran tinggi akan pentingnya hutan mangrove karena sebelum ada hutan mangrove daerah ini seringkali terjadi banjir rob, dan sesudah hutan mangrovenya tebal daerah ini tidak lagi dilanda banjir rob. Keberadaan hutan mangrove juga  menyebabkan melimpahnya kerang, tiram dan kepiting.

2. Persepsi Penduduk Terhadap Hutan Mangrove
Untuk mengetahui ”mengapa” penduduk melakukan penebangan vegetasi mangrove dan untuk menentukan ”bagaimana” langkah-langkah yang akan diambil dalam rangka menghambat laju degradasi hutan mangrove di pantai Pasuruan perlu diketahui  persepsi penduduk terhadap hutan mangrove. Data persepsi penduduk diambil melalui wawancara langsung dengan nelayan dan pemilik tambak.

a.     Pemanfaatan vegetasi mangrove oleh masyarakat
Hasil wawancara mengenai pemanfaatan vegetasi mangrove hasil penebangan oleh penduduk menunjukkan  jawaban bervariasi, namun dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu untuk bahan bangunan, bahan perahu , kayu bakar, arang, dan dijual.

b.      Persepsi penduduk mengenai fungsi ekologis hutan mangrove.
Tindakan perusakan hutan mangrove diperkirakan disebabkan oleh ketidak tahuan penduduk mengenai fungsi ekologis hutan mangrove.Namun dari hasil wawancara dengan nelayan dan pemilik tambak ternyata pada umumnya mereka tahu mengenai fungsi ekologis hutan mangrove. Ada lima macam fungsi ekologis hutan mangrove yang ditanyakan kepada penduduk, hasil jawaban penduduk menunjukkan bahwa sebagian besar dari penduduk pesisir (lebih dari 70 %) memahami dan menyadari fungsi hutan mangrove dapat menahan gelombang laut, melindungi permukiman dari angin besar, tempat hidup kerang, kepiting dan udang, tempat bertelur dan tempat pembesaran beberapa jenis ikan. Penduduk daerah penelitian umumnya tidak tahu bahwa keberadaan hutan mangrove dapat mencegah intrusi air laut.

c.       Persepsi terhadap kepemilikan dan Penebangan pohon mangrove
Hasil wawancara mengenai kepemilikan hutan mangrove,  42 % responden menjawab milik negara, 40,7 % milik penduduk, 12,9 % milik Desa . Sedangkan mengenai penebangan vegetasi mangrove 42,5 % responden menjawab boleh dan 57 % responden menjawab tidak boleh. Dari jawaban ini dapat disimpulkan , penduduk kurang  memahami bahwa hutan mangrove dan lahan di bawahnya adalah milik negara dengan demikian penduduk tidak diperbolehkan menebangi vegetasi mangrove.
Hasil wawancara mengenai persepsi penduduk terhadap hutan mangrove adalah, pada umumnya penduduk pesisir mengetahui fungsi ekonomis dan ekologis hutan mangrove tetapi kurang mempunyai rasa ”memiliki” dan acuh tak acuh terhadap kerusakan hutan mangrove yang terjadi. Perilaku merusak dengan menebang vegetasi mangrove karena penduduk menganggap yang ditebang adalah hasil tanamannya sendiri atau hasil tanaman orang tuanya, atau tanaman  liar (tumbuh sendiri). Menurut fikiran penduduk, asal tidak menebang hasil tanaman pemerintah, mereka merasa tidak bersalah (melanggar hukum). Dengan alasan itu pulalah tanaman penghijauan oleh pemerintah justru dirusak penduduk di beberapa tempat (kasus Desa Semare, Kecamatan Kraton)

3. Model pemberdayaan pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove

Saenger (1999) menyatakan bahwa terdapat mata rantai antara kondisi lingkungan, kondisi ekonomi dan kondisi penduduk yang merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Sedangkan menurut Bengen (2001) pengelolaan hutan mangrove menyangkut dua konsep, yaitu perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
Model pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di daerah penelitian didapatkan melalui Focus Group Discussion (FGD) sehingga ide-ide dan keputusan-keputusan memang dibuat oleh penduduk itu sendiri. Harapannya adalah, model ini memang dapat dilaksanakan karena sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penduduk.  FGD dilaksanakan di enam lokasi sampel yaitu  (diurutkan bari barat ke timur) Desa Gerongan Kecamatan  Kraton,  Desa  Semare   Kecamatan Kraton, Kelurahan Tambaan Kota Pasuruan, Kelurahan Panggungrejo Kota Pasuruan, Desa Kedawang dan Desa Penunggul keduanya Kecamatan Nguling.   Setiap Desadiikuti sekitar 20 – 25 peserta (dibagi dalam 3 kelompok) yang terdiri atas perangkat desa/kalurahan, pengurus kelompok mangrove (jika ada) , tokoh masyarakat , pemilik tambak dan nelayan.
Dari hasil FGD enam lokasi sampel dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
(1)   Sebagian besar desa pesisir di sepanjang pantai Pasuruan telah mempunyai kelompok pengelola mangrove, namun pada saat ini kegiatanya macet.
(2)   Di semua wilayah (kecuali di Desa Penunggul Kecamatan Nguling) masih terjadi penebangan pohon mangrove untuk berbagai keperluan
(3)   Di daerah-daerah yang ada tambaknya, pembukaan tambak baru dilakukan dengan menebang pohon mangrove
(4)   Ada kehendak kuat dari pengurus kelompok untuk melestarikan hutan mangrove
(5)   Selama ini penebang pohon mangrove tidak diberi sangsi baik oleh kelompok maupun oleh pemerintah
(6)   Belum ada kontinuitas program penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove dari pemerintah
(7)   Belum ada  Peraturan Daerah yang khusus mengatur wilayah pantai/pesisir baik mengenai sangsi perusakan maupun tata ruang wilayah pesisir
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).



























Tabel 2 : Hasil FGD di masing-masing lokasi sampel (Table 2 : FGD results at each sample location)
No
Lokasi
Organisasi Mangrove
Kegiatan
Permasalahan
Usulan
1
Desa GeronganKecamatan Kraton
Belum ada kelom-pok mangrove
Penanaman mangrove sepanjang tepi sungai secara swadaya
a. Belum pernah ada bantuan penanaman mangroveb. Banyak penebangan mangrove, ada pengepul
1.       bantuan pemerintah untuk penanaman mangrove
2.       sanksi tegas untuk pencuri
3.       tata ruang pesisir
2
Desa SemareKecamatan Kraton
Ada kelompokTidak aktif
Penanaman dr proyek Gerhanth 2005 – 2007
a. Tanaman kebanyakan mati  karena kurang dipelihara & sengaja dimatikan  pendudukb. Kesadaran penduduk  rendah
1.       Ada pencurian dari daerah lain
1.       Bantuan bibit dan pemeliharaan secara  rutin
2.       Peraturan dan  sanksi yang tegas
3
KelurahanTambaan,Kota Pasuruan
Tani Mandiri, berdiri th 1997Tidak aktif
1.       GERHAN th 1997 : penanaman 10 ribu pohon, semuanya mati
2.       Th 2007  penduduk menanam 5000 pohon, 80 %  hidup sampai sekarang
a. Tidak ada kesadaran penduduk dalam memelihara tanaman mangrove jika tidak diupahb. Meskipun persentasenya kecil, masih ada penebangan vegetasi mangrove oleh penduduk
1.       Bantuan rutin dr pemerintah untuk pemeliharaan hutan mangrove
2.       Peraturan & sanksi yang tegas utk penebang
4
Kelurahan PanggungrejoKota Pasuruan
Cipta Baru MandiriTidak aktif
1.       penanaman intensif (ban-tuan) th 1970 – th 1980
2.       Secara mandiri ada anggota penduduk yang melakukan penanaman mangrove
3.       Ada penanaman mangrove oleh anak-anak
1.       Kerusakan tanaman mangrove karena rusaknya bibit, kurang pemeliharaan & dilewati perahu nelayan
2.       Pencetakan tambak baru mengancam keberadaan hutan mangrove
-        Tata ruang pantai-        Bibit dari lokasi setempat-        Lokasi kapal berlabuh-        Pemilik tambak berkewajiban memelihara mangrove dengan luasan tertentu
5
Desa KedawangKecamatan. Nguling
Tani MakmurTidak aktif
1.       Penanaman mangrove (bantuan)  th 2005-2007
2.       Pembuatan papan larangan penebangan mangrove
1.       Banyak pencurian pohon
2.       Belum ada sanksi tegas
3.       Tata ruang pantai tidak jelas
3.       Sinergi antara penduduk – pemerintah desa – pemerintah kabupaten
6
Desa PenunggulKecanatan Nguling
Sumber RejekiTidak aktif
1.       Penanaman rutin th 1992 s/d th 2007, sampai sekarang
2.       Kondisi bagus, ada penanaman & pemeliha-raan terus menerus
3.       Ada Pak Mukarim, penerima Kalpataru Perintis Lingkungan
1.       ketidak harmonisan antara pak Mukarim dengan Pemerintah Desa
2.       Belum ada rencana pengembangan wilayah dengan adanya hutan mangrove
4.       Kelestarian hutan mangrove masa  depan
5.       Pengembangan potensi mangrove untuk pariwisata

























Kecamatan KratonBelum ada kelom-pok mangrove Penanaman mangrove sepanjang tepi sungai secara swadayaa. Belum pernah ada bantuan penanaman mangrove
1. Banyak penebangan mangrove, ada pengepul
1.       bantuan pemerintah untuk penanaman mangrove
2.       sanksi tegas untuk pencuri
3.       tata ruang pesisir
2.    Desa Semare
Kecamatan KratonAda kelompok
Tidak aktif Penanaman dr proyek Gerhan
th 2005 – 2007a. Tanaman kebanyakan mati  karena kurang dipelihara & sengaja dimatikan  penduduk
b. Kesadaran penduduk  rendah
1.       Ada pencurian dari daerah lain
1.       Bantuan bibit dan pemeliharaan secara  rutin
2.       Peraturan dan  sanksi yang tegas
3.   KelurahanTambaan,
Kota Pasuruan
Tani Mandiri, berdiri th 1997
Tidak aktif
1.       GERHAN th 1997 : penanaman 10 ribu pohon, semuanya mati
2.       Th 2007  penduduk menanam 5000 pohon, 80 %  hidup sampai sekarang
a. Tidak ada kesadaran penduduk dalam memelihara tanaman mangrove jika tidak diupah
b. Meskipun persentasenya kecil, masih ada penebangan vegetasi mangrove oleh penduduk
1.       Bantuan rutin dr pemerintah untuk pemeliharaan hutan mangrove
2.       Peraturan & sanksi yang tegas utk penebang
4.  Kelurahan Panggungrejo
Kota Pasuruan
Cipta Baru Mandiri
Tidak aktif
1.       penanaman intensif (ban-tuan) th 1970 – th 1980
2.       Secara mandiri ada anggota penduduk yang melakukan penanaman mangrove
3.       Ada penanaman mangrove oleh anak-anak
1.       Kerusakan tanaman mangrove karena rusaknya bibit, kurang pemeliharaan & dilewati perahu nelayan
2.       Pencetakan tambak baru mengancam keberadaan hutan mangrove
-        Tata ruang pantai
-        Bibit dari lokasi setempat
-        Lokasi kapal berlabuh
-        Pemilik tambak berkewajiban memelihara mangrove dengan luasan tertentu
5.  Desa Kedawang
Kecamatan. Nguling
Tani Makmur
Tidak aktif
1.       Penanaman mangrove (bantuan)  th 2005-2007
2.       Pembuatan papan larangan penebangan mangrove
1.       Banyak pencurian pohon
2.       Belum ada sanksi tegas
3.       Tata ruang pantai tidak jelas
4.       Sinergi antara penduduk – pemerintah desa – pemerintah kabupaten
6. Desa Penunggul
Kecanatan Nguling
Sumber Rejeki
Tidak aktif
1.       Penanaman rutin th 1992 s/d th 2007, sampai sekarang
2.       Kondisi bagus, ada penanaman & pemeliha-raan terus menerus
3.       Ada Pak Mukarim, penerima Kalpataru Perintis Lingkungan
1.       ketidak harmonisan antara pak Mukarim dengan Pemerintah Desa
2.       Belum ada rencana pengembangan wilayah dengan adanya hutan mangrove
3.       Kelestarian hutan mangrove masa  depan
4.       Pengembangan potensi mangrove untuk pariwisata


Sumber : Hasil FGD

Berdasarkan analisis mengenai kondisi penduduk pada saat ini, kondisi hutan mangrove saat ini dan perlakuan penduduk terhadap hutan mangrove, maka itu model yang paling cocok untuk pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di pantai Pasuruan adalah sosio-eko-regulasi , dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1.       Pengaktifan kelompok-kelompok mangrove di sepanjang pantai Pasuruan atau pembentukan kelompok baru bagi daerah yang belum ada kelompok mangrovenya
2.       Kegiatan kelompok mangrove adalah untuk melestarikan hutan mangrove di wilayahnya masing-masing dengan cara memelihara tanaman mangrove yang sudah ada, melakukan penanaman baru dan mencegah perusakan hutan mangrove. Seluruh warga penduduk dilibatkan dalam kegiatan ini agar merasa ”memiliki” hutan mangrove yang ada
3.       Pemerintah  mendukung aktifitas kelompok ini dengan mengalokasikan dana secara rutin kepada masing-masing desa untuk penanaman dan pemeliharaan. Dana yang disediakan adalah dana dukungan dan atau pembinaan , sehingga jumlahnya tidak terlalu besar
4.       Di samping sangsi dari pemerintah yang tegas (selama ini dinilai kurang tegas oleh penduduk), masing-masing kelompok memutuskan sendiri sangsi dan penghargaan bagi warga yang merusak atau memelihara pohon mangrove
5.       Ada tata ruang wilayah pesisir, dimana lokasi untuk hutan mangrove, dimana untuk lokasi bersandarnya perahu atau TPI, dan sebagainya
6.       Jikalau dipandang perlu bekerjasama dengan instansi lain dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove untuk berbagai kegiatan yang bekelanjutan.
7.       Perlunya pemanfaatan hutan mangrove untuk kegiatan ekonomis misalnya budidaya kerang, tiram, kepiting, ikan, tawon madu, dan lain-lain sehingga  kehidupan ekonomi penduduk meningkat dengan keberadaan hutan mangrove. Jika hutan mangrove sudah bagus juga dapat dimanfaatkan entuk ”eco-wisata” dan ”eco-edukasi”.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(1)    Penebangan liar dan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama degradasi hutan mangrove di daerah penelitian
(2)    Penduduk memiliki persepsi positif akan keberadaan hutan mangrove, perusakan yang dilakukan terutama disebabkan tekanan ekonomi..
(3)    Dari hasil wawancara dan FGD penduduk pesisir mempunyai kesadaran dan keinginan cukup tinggi untuk pelestarian hutan mangrove di daerahnya masing-masing , oleh sebab itu model pemberdayaan masyarakat yang paling baik adalah model sosio-eko-regulasi, yaitu pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove berbasis masyarakat dengan penghargaan yang layak bagi yang berjasa dan sangsi yang tegas bagi yang melanggar

Saran

1.       Pemerintah diharapkan lebih memberi perhatian pada pelestarian kawasan pantai dengan mengalokasikan dana secara rutin untuk kegiatan-kegiatan rehabilitasi ekosistem pantai
2.       Pemerintah diharapkan mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) khusus untuk pengelolaan dan pengaturan tata ruang kawasan pesisir dengan sangsi-sangsi hukum yang tegas bagi perusakan ekosistem-ekosistem pesisir, termasuk di dalamnya mengenai pengelolaan hutan mangrove
3.       Penyuluhan kepada penduduk akan pentingnya  pengelolaan kawasan pesisir , terutama pengelolaan hutan mangrove
4.       Untuk Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) daerah pantai sebaiknya memasukkan muatan lokal mengenai ekosistem-ekosistem pantai dan pengelolaanya  untuk mencetak siswa-siswa yang sadar akan lingkunganya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar