Laman

Sabtu, 15 November 2014

MAKALAH SEKOLAH UNTUK ANAK INDONESIA SEBELUM REORGANISASI 1982




MAKALAH
SEKOLAH UNTUK ANAK INDONESIA SEBELUM REORGANISASI 1982
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Indonesia Yang Di Bombing Oleh Bapak Ahmad Fajar Ma’ruf M.Pd.
Copy (2) of logo - ikip_color.jpg
DISUSUN OLEH
NAMA                       :  SHINDI
NPM                           :  2121000430246
KELAS                      :  D


JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH DAN SOSIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL HUMANIORA
IKIP BUDI UTOMO MALANG
2014



KATA PENGANTAR
Kata Pengantar

Puji syukur kita sanjungkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa berkat limpahan rahmat dan karunia-Nyalah sehingga Saya dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Indonesia.
Saya telah telah menyusun tugas ini dengan semaksimal mungkin, namun sebagai manusia tidak akan pernah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Harapan Saya adanya kritik dan saran dari teman-teman agar untuk kemudian hari tugas ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing atas bimbingan dan dorongan serta ilmu yang telah diberikan kepada kami. Sehingga Saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktu yang telah ditentukan dan sesuai dengan yang diharapkan. Dan saya mengucapkan terima kasih kepada tema-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu dan semua pihak terkait yang membantu dalam peyusunan tugas ini.
Somoga tugas ini bermanfaat untuk kita semua dan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus pengetahuan. Amin.













Malang, Mei 2014



i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .i
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
B.     Rumusan Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
C.     Tujuan Penulisan Makalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekolah Untuk Anak Indonesia Sebelum Reorganisasi 1982     . . . . . . . . . . . .         2
B.     Kurikulum   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .         2
C.     Fasilitas    . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . .. . .          3
D.    Buku Pelajaran    . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .           4
E.     Guru-Guru     . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .          5
F.      Infeksi     . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .           10
G.    Penerimaan Dan Jumlah Murid   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . . . . . . . . .. .         10
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
B.     Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .14

DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15








ii

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebelum 1982 sekolah tidak mempunyai kurikulum yang unifrom, walaupun dalam peraturan 1871 ada petunjuk yang menentukan kegiatan sekolah. Ada empat macam mata pelajaran yang di haruskan diantaranya menbaca, menulis, bahasa (bahsa daerah dan masa melayu, dan berhitung. Adapun mengenai pelajaran Agama tidak diajarkan seperti halnya di Belanda pada masa liberal. Peraturan pemerintahan 1818 mengharuskan diadakannya peraturan yang perlu bagi pribumi tidak menghasilkan sekolah bagi anak Indonesia. Ini disebabkan kekaburan politik pendidikan ditanah jajahan dan kesulitan finansial yang berat yang dihadapi pemerintahan Belanda sehingga menjauhkan diri dari pendidikan pribumi.
Peraturan pertama mengenai pendidikan dikeluarkan tahun 1871, yang memberikan uraian yang panjang lebar  tentang kurikulum pendidikan guru. Perkembangan pesat sesudah 1863 sewaktu ekonomi membumbung tinggi di bawah menteri liberal Van De Putte, segera segera terhenti setelah depresi ekonomi 1885. Peraturan 1871 segara di ganti dengan keputusan 1885 yang mengurangi biaya pendidikan dan menyederhanakan kurikulum, yang akhirnya menghasilkan reorganisasi 1892.
Seiring berkembangnya tekhnologi pendidikan di Indonesia terus berubah mengikuti perkembangan tekhnologi tersebut. Sehingga pada makalah ini kita meninjau kembali pendidikan untuk anak Indonesia sebelum reorganisasi.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pemakalah merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, khususnya untuk mengetahui bagaimana sebenarnya Pendidikan Untuk Anak Indonesia Sebelum Reorganisasi 1982.
a)      Bagaimana kurikulum pada saat itu?
b)      Bagaimana keadaan fasilitas pendidikan pada saat itu?
c)      Buku pelajaran yang bagaimana yang digunakan?
d)     Bagaimana Guru-guru pada saat itu?
e)      Bagaimana proses infeksi yang dilakukan?
f)       Apa saja ketentuan dalam penerimaan dan berapa jumlah siswa?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah memahami serta mengetahui apa saja tercantum dalam rumusan makalah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEKOLAH UNTUK ANAK INDONESIA SEBELUM REORGANISASI 1982
Peraturan pemerintahan 1818 mengharuskan diadakannya peraturan yang perlu bagi pribumi tidak menghasilkan sekolah bagi anak Indonesia. Ini disebabkan kekaburan politik pendidikan ditanah jajahan dan kesulitan finansial yang berat yang dihadapi pemerintahan Belanda sehingga menjauhkan diri dari pendidikan pribumi. Sewaktu residen Bandung dan asisten residen Krawang dibawah Gubernur Jendral Eerens (1836-1840) meminta masing-masing f 30,- dan f 20,- sebulan untuk gaji guru, permohonan mereka ditolak.
Kita ketahui bahwa untuk pertama kali diberikan uang f2500,- pada tahun 1846 untuk pendidkan anak Indonesia di Jawa, terutama untuk melatih pegawai pemerintah. Pada tahun 1854 Gubernur Jendral diintruksikan meluaskan pendidikan bagi pribumi, akan tetapi sadar akan konsekwensi finansialnya pendidikan hanya dibatasi pada anak-anak priayi.
Peraturan pertama mengenai pendidikan dikeluarkan tahun 1871, yang memberikan uraian yang panjang lebar  tentang kurikulum pendidikan guru. Perkembangan pesat sesudah 1863 sewaktu ekonomi membumbung tinggi di bawah menteri liberal Van De Putte, segera segera terhenti setelah depresi ekonomi 1885. Peraturan 1871 segara di ganti dengan keputusan 1885 yang mengurangi biaya pendidikan dan menyederhanakan kurikulum, yang akhirnya menghasilkan reorganisasi 1892.

B.     KURIKULUM
Sekolah rendah sebelum 1982 tidak mempunyai kurikulum yang uniform, walaupun dalam peraturan 1871 ada petunjuk yang menentukan kegiatan sekolah. Ada empat mata pelajaran yang diharuskan, yakni membaca, menulis, bahasa (bahasa daerah atau bahasa melayu), dan berhitung.
Selanjutnya guru-guru diizinkan mengajar semua mata pelajaran yang diberikan di sekolah guru kecuali pedagogik. Maka kurikulum dapat meliputi mata pelajaran yang berikut: geometri, geografi, berhitung, termasuk pecahan dan sistem decimal, dan dikelas tertinggi pengetahuan alam, fisika, botani, biologi, pertanian mengukur tanah(kadaster), etnologi, dan menggambar (meniru gambar). Untuk mengukur tanah diperlukan seorang pegawai yang bekerja di perkebunan pemerintah. Mata pelajaran ini dihapuskan pada tahun 1893 kecuali di Sekolah Kelas Satu, dimana mata pelajaran ini dihapuskan pada tahun 1911. Pertanian diberikan bukan demi perbaikan pertanian rakyat akan tetapi diperlukan oleh pengawas perkebunan. Berhitung dikaitkan dengan kalkulasi pajak tanah. Administrasi dan pembukuan garam dan kopi di gudang pemerintahan. Kurikulum biasanya direncanakan oleh komisi sekolah setempat dengan bantuan guru dan diserahkan kepada inspektur untuk persetujuan.
Bahasa pengantar adalah bahasa daerah. Bila bahasa local tidak sesuai, maka digunakan bahasa Melayu . Karena banyaknya bahasa daerah, dan tidak adanya guru dan buku pelajaran dalam bahasa itu maka penggantinya digunakan bahsa Melayu. Diperbatasan sering digunakan dua bahasa dan disamping itu mempelajari tiga bahasa.
Agama tidak diajarkan, seperti halnya di negeri Belanda pada masa Liberal. Statuta 1874 menyatakan bahwa semua pengajaran agama dilarang di sekolah pemerintah, akan tetapi ruang kelas dapat digunakan untuk kepentingan itu diluar jam pelajaran. Guru-guru juga diperintahkan agar jangan menyebarkan buah pikiran yang bertentangan dengan moral baik atau membangkikan pelanggaran undang-undang pemerintah.
Dikebanyakan sekolah sebelum libur panjang biasanya diadakan apa yang disebut pelajaran umum. Pada saat ini guru memperlihatkan keterampilannya mengajar dan para pembesar mendapat kesempatan untuk mentes pengetahuan murid dan menilai guru. Pada saat ini juga diumumkna nama anak-anak yang naik kelas dan yang menerima ijazah setelah menunjukan hasil yang baik. Namun akhirnya pelajaran umum ini mendapat kecaman karena cendrung menjadi petunjukan atau show dan karena itu dihapuskan.

C.    FASILITAS
Pada umumnya gedung sekolah di seluruh Indonesia tidak serasi, terlampau kecil, kurang penerangan dan ventilasi, lembabdan sering pula bocor. Ada kalanya pendopo digunakan sebagai sekolah yang juga berfungsi sebagai tempat pengadilan, rapat, dan tujuan-tujuan lain.
Perabot sekolah terdiri atas bangku,papan tulis, lemari, meja, dan kursi.Pada tahun1856 sekolah di Krawang menggunakan meja rendah sedangkan anak-anak duduk di lantai. Suatu pengumuman tahun 1870 bahkan menyatakan bahwa anak-anak harus duduk dilantai bukan dan bukan di bangku. Maka karena itu sebaiknya gurunya diambil dari golongan priayi agar jangan memalukan anak kaum ningrat duduk dilantai sedangkan guru duduk di kursi.
Buku-buku disediakan oleh Depot Alat Pengajaran yang didirikan pada tahun 1878. Kepala sekolah harus mengajukan permohonan alat-alat sekali setahun, sebaiknya pada bulan Januari. Kebanyakan buku-buku dicetak oleh percetakan pemerintah di Jakarta. Semua buku diakrang oleh orang Belanda, termasuk buku dalam bahasa daerah dan Melayu tanpa konsultasi dengan orang Indonesia yang ahli dalam bahasa itu, sehingga bahasanya kaku dan menyimpang dari yang lazim.

D.    BUKU PELAJARAN
Suatu buku yang ditentukan ialah Kitab Edja dan Batja oleh F.A. Luitjes (terbitan pertama tahun 1891), terdiri atas 23 halaman. Seperti dinyatakan oleh judulnya buku ini didadasarkan atas metode yang mulai dengan mempelajara huruf, yang bila dikombinasikan akan mengasilkan kata-kata. Dengan mempelajari segala macam kombinasi konsonan dan huruf hidup, murid-murid diharapkan sanggup membaca tiap kata, kalimat atau cerita. Bahasa Melayu mempunyai keuntungan karena bersifat fonetis dan tiap huruf mempunyai bunyi yang sama dalam setiap kombinasi. Menurut pengarang, murid seger meniadakan hal mengeja bila ia langsung sanggup membaca kata itu. Hanya bila ia menghadapi kata yang sukar ia dapat mengatasinya dengan mengeja. Buku ini tidak mempunyai ilustrasi. Pelajaran terdiri atas kalimat lepas-lepas tanpa ada hubungannya. Taka da usaha untuk membuat buku itu menarik atau mempertimbangkan minat anak.
Buku bacaan bagi mereka yang telah menguasai keterampilan dasar membaca,ditulis oleh L.K Harmsen Kitab Akan Dibatjai Buku ini berisi cerita-cerita dari Seribu Satu Malam, Hitopadesa, dan fable-fabel Yunani, semua bernada moral, dimana yang baik selalu menang dan mendapat hadiah sedangkan yang jahat mendapat hukuman. Cerita-cerita serupa ini sangat populer pada zaman liberal. Dasar pikirannya ialah bahwa pengetahuan tentang yang baik akan menyebabkan orang baik berbuat baik. Bahasa dalam buku ini sangat buruk , oleh sebab pengarang tidak berusaha meminta pendapat orang Indonesia.
Buku yang dikarang Van Duyn digunakan untuk belajar tulisan Arab. Ia menggunakan metode sintetik yang sama yakni mulai dengan huruf, suku kata yang dikombinasikan menjadi kata dan kalimat.
Pada saat pemerintahan mulai membuka sekolah setelah 1850 hanya buku Kristen yang tersedia. Buku ini tidak sesuai dengan anak-anak Jawa karena mereka beragama Islam dan buku-buku itu semua dalam bahasa Melayu yang tidak mereka pahami. Karena itu pemerintahan menganjurkan lulusan Akademi di Delft yang mengadakan studi tentang bahasa daerah agar menulis buku pelajaran dengan menawarkan premi. Selain itu guru-guru Sekolah Guru dan ahli bahasa daerah didorong untuk menulis buku dalam bahasa daerah yang sangat diperlukan. Buku pertama dihasilkan untuk anak-anak Jawa Tengah dan anak-anak Sunda di Jawa Barat. Sampai 1866 Madura di Jawa Timur menggunakan buku dalam bahasa Jawa. Lambat laun tersedia buku dalam 22 bahasa daerah dan cerita-cerita tentang Anak yang Baik juga dalam bahasa Batak Mandailing Tapanuli Selatan.

E.     GURU-GURU
Pendidikan guru menjadi masalah penting dalam masa perluasan pendidikan. Sekolah Guru (Kweekschool) petama dibuka pada tahun1852 di Solo, segera diikuti oleh Sekolah Guru lainnya dipusat bahasa-bahasa utama di Indonesia. Sekolah-sekolah ini menghasilkan lebih dari 200 guru antara 1887 dan 1892. Setelah depresi ekonomi jumlahnya dikurangi.
Sebelum Sekolah Guru dapat menghasilkan jumlah guru yang cukup, tidak diadakan syarat khusus untuk melakukan profesi guru ini. Karena gudang dan kantor pemerintahan dapat diterima sebagai guru. Mutu pendidikan sering sangat rendah apa lagi di luar Jawa. Di antara guru-guru ada yang tidak pandai berbahasa Melayu, yang tak lancer membaca, atau tak dapat mengalika. Ada kelas-kelas yang besar sekali. Pada tahun 1859 seorang guru di Kaibobo (Seram) harus menghadapi 285 murid dan di Manado 260 murid dalam satu kelas.
Karena kebutuhan guru yang mendesak setelah 1863, pemerintahan memutuskan pada tahun 1893 akan mengangkat guru tanpa pendidikan sebagai guru. Pada tahun 1875 diadakan ujian bagi mereka yang ingin mendapat kualifikasi guru tanpa melalui Sekolah Guru. Gaji guru yang berwenang penuh berjumlah f30,- - f50,- sebulan, yang kemudian dinaikan pada tahun 1878 menjadi minimum f75,- dan maksimum f150,- perbulan. Disamping itu lulusan Sekolah Guru (Kweekschool) mendapat gelar resmi manteri guru yang memberikan mereka kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintahan lainnya yang memberikan mereka hak untuk menggunakan paying menurut ketentuan pemerintahan, tombak, tikar dan kotak sihir. Mereka juga mendapat biaya menggaji empat pembantu untuk membawa keempat lambing kehormatan itu. Tanda-tanda kehormatan itu membangkitkan rasa hormat orang, termasuk murid-muridnya sendiri, khususnya anak-anak kaum ningrat.
Tipe guru lainnya ialah guru bantu yang mendapat wewenang setelah melalui ijian guru bantu. Mereka yang masih belum lulusan ujian guru tersebut kweekling, calon guru yang mempelajari seluk-beluk mengajar sebagai magang. Selain itu ada lagi guru yang diangkat secara darurat pada masa kekurangan guru. Maka dapat dibedakan lima macam guru :
·         Guru yang berwenang penuh lulusan Sekolah Guru,
·         Guru melalui ujian guru tanpa menempuh Sekolah Guru dan karena itu mendapat gaji yang lebih rendah,
·         Guru bantu melalui ujian guru bantu,
·         Calon guru atau magang,
·         Guru darurat.
Variasi yang aneka ragam tentang kualifikasi guru adalah ciri khas dari praktik pendidikan Belanda selama masa colonial. Walaupun mungkin tidak disengaja, namun perbedaan kualifikasi itu menghalangi terbentuknya satu serikat guru yang kuat karena tiap golongan mempunyai masalah tersendiri. Ada kecenderungan guru-guru berpendidikan Barat memandang rendah terhadap saudara-saudara yang kurang beruntung yang tidak mendapat pendidikan Belanda.
Pada mulanya sukar mencari siswa yang cukup untuk Kweekschool (Sekolah Guru) dan anak-anak priayi sering menggunakan profesi guru sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaaan di kantor pemerintahan yang lebih terhormat dalam pandangan mereka. Tak ada persyaratan untuk menjadi calon siswa Sekolah Guru dan tak ada sekolah yang mempersiapkan siswa untuk itu. Syarat satu-satunya adalah usia (minimum 14 dan maksimum 17) dan ini pun tak dapat dipastikan karena tidak adanya surat kelahiraan. Ada kalanya calon tabpa pengetahuan bahasa Melayu, berhitung, dan membaca harus diterima. Karena itu Sekolah Guru pada taraf permulaannya tak ubahnya sekolah rendah.
Kemudian kualitas Sekolah Guru meningkat dan memperoleh kedudukan seperti sekolah menengah. Pada tahun 1871 kurikulumnya meliputi : bahasa daerah (dengan buku karangan orang Belanda), berhitung (menggunakan buku Belanda yang di terjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan daerah), geometri elementer, geografi (meliputi Indonesia, Nederland, dan dunia), sejarah, ilmu alam (botani, zoology, dan fisika), menggambar, padagogik (teori dan praktik), menulis tangan (huruf Latin, Jawa dan lain-lain tergantung pada daerahnya), dan bernyanyi. Bahasa Belanda efektif sejak 1871 akan tetapi dihapuskan tahun 1886 karena mengganggu studi pelajaran lainnya. Guru Belanda yang tidak cukup menguasai bahasa Melayu, cenderung mengajarkan segala sesuatu dalam bahasa Belanda yang tidak dipahami siswa Indonesia. Maka bahasa Belanda menelan terlampau banyak waktu namun dianggap tak banyak nilainya bagi guru Indonesia.
Walaupun kurikulum telah ditentukan namun masih terdapat perbedaan-perbedaan karena usaha menyesuaikan dengan keadaan setempat. Di Probolinggo misalnya, diajarkan tiga bahasa (Jawa, Madura, Melayu) sedangkan di Amboina hanya diperlukan bahasa Melayu.
Program Sekolah Guru (Kweekschool) di Bandung sebagai berikut.
TABEL 1
MATA PELAJARAN DI KWEEKSCHOOL

Kelas

I
II
III
1. Bahasa Melayu
7
7
5
2. Bahasa Sunda
7
6
5
3. Menulis
4
3
2
4. Berhitung
7
7
6
5. Ilmu Ukur
2
2
2
6. Ilmu Bumi
3
4
5
7. Sejarah
1
2
3
8. Ilmu Alam
1
2
3
9. Menggambar
4
3
2
10. Ilmu Mendidik
-
-
3
11. Bernyanyi
1
1
1
Jumlah
37
37
37

Tahun ke-4 digunakan untuk praktik mengajar pada suatu sekolah ekstren,  yakni di luar Sekolah Guru. Sekolah Guru dikatakan intern karena murid-murid tinggal dalam internet atau asrama.
Prosedur praktir mengajar berbeda-beda di berbagai Sekolah Guru. Di Bandung setiap calon guru belajar mengajar di tiap kelas selama dua minggu, dari kelas paling rendah sampai kelas tertinggi. Mereka yang tidak ikut praktik mengajar, mengikut pelajaran bersama dengan murid kelas III. Di Probolinggo calon guru tinggal selama satu minggu di sekolah ekstern sedangkan di Bukittinggi setengah dari murid berpraktik selama sebulan. Di Makassar diadakan tiga hari untuk praktik mengajar, di Amboina satu minggu, di Padang Sidempuan selama dua minggu.
Murid Sekolah Guru tinggal dalam asrama di bawah pengawasan yang ketat tentang kelakuan dan pelajaran mereka. Mereka menerima f 12,- sampai f 15,- sebagai biaya untuk pakaian dan makanan. Murid kelas 3 atau 4 yang menunjukan kelakuan yang baik diizinkan kawin, namun tidak mendapat kebebasan yang lebih banyak daripada murid lainnya. Mereka harus tetap tinggal dalam asrama seperti murid yang belum kawin. Lambat laun jumlah calon melebihi tempat yang tersedia, dan sejak 1871 diadakan ujian untuk memilih calon terbaik.
Pada akhir tahun ke-4 diadakan ujian penghabisan yang meliputi semua bahan yang diajarkan selama empat tahun sebeleumnya. Beberapa contoh kami berikan di bawah ini sekedar mengetahui sifat ujian itu.
Bahasa Melayu: karangan tentang topikn sejarah (Probolinggo 1891)
Bahasa Sunda dan Jawa: Karangan tentsng Napoleon, Colombus, J.P. Coen (Bandung 1890) atau tentang upacara perkawinan (Makassar 1891)
Berhitung: Seorang membeli 100 gelas seharga f 50,- dan dijualnya dengan harga f 0,80 per buah. Oleh sebab ada jumlahnya gelas yang pecah, ia hanya memperoleh 13/15 dari laba yang diharapkannya. Berapa banyak gelas yang pecah (Padang Sidempuan 1891).
Ilmu Ukur: Panjang prisma segiempat tiga kali dan lebarnya setengah dari suatu kubus. Bila luas 50 cm2 lebih dari kubus itu, berapakah isi prisma itu (Bandung 1891).
Ilmu Bumi: Karangan tentang keresidenan Krawang,Cina, dan Jepang atau Rusia (Bandung 1891).
Sejarah:  Karangan tentang Gubernur Jendral Anthonie van Diemin, jatuhnya Mojopahit, Perang Phoenicia, atau Penemuan Amerika (Probolinggo 1891).
Ilmu Alam: Pilih dua dari topik yang berikut:
·         Lensa
·         Mesin uap,
·         Pompa hidrolis,
·         Timbangan,
·         Peredaran darah binatang menyusui dan reptile,
·         Rudimen,
·         Padi,
·         Pohon enau,
·         Bunga (Bandung 1891).
Menggambar: menggambar tanpa contoh suatu desa, anjing, atau ayam jantan (Bandung 1891).
Ilmu Mendidik: Apakah yang harus dilakukan guru agar murid bersekolah dan memelihara keterbitan (Bandung 1891).
Ilmu Hewan: Bicarakan berbagai mekanisme motoris pada binatang.
Pada umumnya terdapat kekurangan buku di sekolah Guru dan pelajaran kebanyakan didasarkan atas kuliah dan dikte. Laboratorium dan alat-alat untuk pelajaran fisika tak tersedia. Perpustakaan masih menyedihkan, gedung sekolah kurang cahaya dan ventilasi, bocor dan tidak serasi pembuatnya. Dengan fasilitas demikian tak dapat diharapkan mutu pendidikan yang memadai.
Tenaga pengajar terdiri atas dua orang Belanda, seorang diantaranya kepala sekolah, seorang guru bantu Indonesia yang memiliki ijazah ELS atau lulusan Sekolah Guru dengan diploma bahasa Belanda dan akhirnya guru-guru bahasa Melayu dan bahasa daerah. Melayu dan etnologi. Memiliki diploma tambahan berarti bertambahnya gaji.
Perluasan pendidikan untuk pribumi tidak secepat yang diharapkan dan krisis ekonomi memaksa pemerintah untuk menutup beberapa diantara Sekolah Guru yang telah ada.

F.     INFEKSI
        Sejak 1826 inspeksi dilakasanakan oleh apa disebut Hoofd Commissie, Komisi Pusat, dibantu oleh Komisi sekolah setempat. Hoofd Commissie ini tahun 1867 diganti dengan Departemen Pengajaran, Agama dan Industri. Inspektur untuk sekolah anak pribumi mula-mula diangkat tahun 1864, ditambah dengan dua inspektorat lagi pada tahun 1872, yang kemudian diperluas menjadi lima buah. Adalah tugas inspektur untuk mengunjungi sekolah sekurang-kurangnya sekali setahun. Akan tetapi karena luasnya daerah dan sukarnya perhubungan, banyak sekolah yang hanya dapat diperiksa sekali dalam dua atau tiga tahun. Selama kunjungan itu inspektur itu mencoba memperoleh keterangan tentang keadaan gadung sekolah, fasilitas, guru, serta murid dan pada saat yang sama mengevaluasi program sekolah serta memberi saran-saran perbaikan.
        Pada tahun 1892 terdapat enam Sekolah Guru, dengan 233 Murid dan 33 Guru, 516 Sekolah rendah pemierintah untuk anak pribumi, diantaranya 205 di Jawa dengan 22.500 Murid dan 311 di luar Jawa dengan 30.000 Murid, dengan 1539 Guru. Terdapat juga 602 sekolah swasta, yang bersubsidi dan tidak bersubsidi, sekolah misi dengan 27.257 murid dan 847 Guru. Selain itu sekolah Cina dengan 6.252 murid. Dapat dipahami bahwa lima inspektur tak mungkin mengunjunginya hamper 1500 sekolah itu setidak-tidaknya sekali setahun. Sekolah berdasarkan agama Islam yang berjumlah 22.859 buah dengan 325.663 murid tidak termasuk pengawasan inspeksi. Sering diamati oleh para inspektur bahwa guru-guru berusaha mengajar terlampau banyak dalam mata pelajaran, yang terlampau banyak jumlahnya. Rupanya mereka tak dapat menahan keinginan untuk mengajarkan kepada anak-anak segala sesuatu yang telah mereka pelajari sendiri di Sekolah Guru.
       Disamping inspektur dan komisi sekolah setempat para pembesar seperti residen, asisiten residen dan kontrolir dalam tugas keliling mereka juga mengunjungi sekolah pemerintah maupun swasta setempat sambil menggunakan otoritas mereka untuk memajukan kehadiran murid di sekolah.

G.    PENERIMAAN DAN JUMLAH MURID
       Seorang inspektur melukiskan sekolah sekolah di Jawa pada tahun 1885 sebagai berikut; Pada suatu jarak saya lihat sebuah rumah, lebih besar sedikit daripada rumah desa biasa. Di depan rumah yang kecil itu saya lihat duduk kira-kira 40 anak-anakn laki-laki, kebanyakkan masih kecil dan beberapa masih dewasa. Mereka jongkok ditanah dan merokok. Tak perlu saya katakana itu sekolah rendah, karena Gedung itu sderhana dari dalam dan kebersihan masih jauh daripada yang diinginkan, karena kebersihan bukan sifat orang yang belum terdidik. Murid-murid (hanya anak laki-laki, karena anak pribumi dan Cina yang perempuan tidak pergi kesekolah) duduk diam dan tertib dan kebanyakkan sangat rajin. Yang paling muda berusia delapan atau Sembilan tahundan yang paling tua dua puluh sampai tiga puluh tahun.
a)      Murid Menurut Jenis Kelamin
     Penerimaan murid dipengaruhi oleh tujuan sekolah. Sekolah-sekolah pertama di Jawa dimaksud untuk mendidik pegawai pemerintah. Konsekuensinya dua macam. Pertama, hanya anak laki-laki yang diterima, dan yang kedua, anak priyai diberikan prioritas utama. Maka anak-anak perempuan mengalami berbagai rintangan dalam mengikuti pendidikan formal. Agam Islam, Agama mayoritas penduduk Jawa. Pada masa itu masih ortodoks dan menentang pendidikan formal untuk-untuk gadis. Adat istiadat tradisional juga kurang menyetujui pendidikan untuk kaum wanita. Penduduk sendiri tidak melihat adanya manfaat gadis-gadis dididik dengan cara yang sama dengan anak pria. Gadis-gadis memegang peranan penting dalam rumah tangga dan di sawah. Maka karena itu jumlah murid pria jauh melebihi murid wanita. Pada 1877 hanya 25 anak wanita terdaftar di Sekolah Pemerintah dibanding dengan 12.498 anak pria. Pada tahun 1888 terdapat 30.767 anak laki-laki akan tetapi hanya 276 anak perempuan di Sekolah. Dihitung dalam persentase jumlah murid wanita 0,2% (1877), 0,45%(1888), dan 0,76%(1892). Walaupun masih sedikit, ada gejala peningkatannya. Namun halangan-halangan sosial masih terlampau kuat untuk mengizinkan anak wanita menikmati kesempatan belajar yang sam seperti anak pria.
     Daerah-daerah yang telah menerima agama Kristen menunjukkan gambaran yang berbeda sekali. Tujuan sekolah semula ialah menyebarkan agama Kristen tanpa mengadakan diskriminasi anak pria dan wanita. Biasanya istri-istri pendeta sangat aktif dalam memajukan pendidikan wanita. Pada tahun 1877 terdapat di Sekolah-sekolah di Ambon 2.384 anak wanita dan 3.162 anak pria. Pada tahun 1887 dari 5.895 gadis yang terdaftar di sekolah pemerintah sejumlah 5.888 terdapat di daerah-daerah yang beragam Kristen di luar Jawa dan pada tahun 1892 jumlahnya 7.326 dari 7.336 murid wanita. Ini berarti bahwa di luar daerah-daerah yang beragama Kristen jumlah gadis-gadis yang bersekolah sangat kecil, hanya 7 orang pada tahun 1887 dan 40 pada tahun 1892. Di Banjarmasin Kota terbesar Di Kalimantan dan di Makasar kota terbesar di Sulawesi Selatan, tak seorangpun anak gadis yang terdaftar di Sekolah pemerintah antara 1888 dan 1892. Pemerintah Belanda tak pernah mengeluarkan suatu peraturan yang merintangi penerimaan anak-anak wanita di sekolah, akan tetapi sebaliknya juga sangat hati-hati menyuruhnya bersekolah, takut kalau-kalau menyinggung adat kebiasaan setempat.
b)     Penerimaan Murid Menurut Kebangsaan
     Tidak ada sekolah khusus didirikan untuk anak Cina selama abad ke-19. Mereka memasuki ELS atau sekolah untuk pribumi atau yang mereka dirikan sendiri. Jumlah mereka yang memasuki sekolah pribumi hanya sedikit, 570 anak laki-laki dan tak seorangpun anak perempuan di Jawa, 826 anak pria dan 55 gadis di luar Jawa pada tahun 1888. Pada tahun 1892 sebanyak 504 anak laki-laki dan 86 anak perempuan di luar Jawa.
c)      Penerimaan Murid Menurut Kedudukan Sosial
     Kebijakan pemerintah Belanda ialah memberikan prioritas kepada anak-anak priyai untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pegawai. Seperti dapat diharapkan sekolah-sekolah pertama terutama menerima murid-murid dari kalangan aristokrasi, akan tetapi ini segera berubah setekah perluasan sekolah pada masa liberal. Pada waktu itu sekolah menyediakan tempat yag lebih banyak daripada yang dapat diisi oleh anak kaum ningrat dan karena itu anak orang biasa makin banyak memasuki sekolah. Pada tahun 1888 sejumlah 5.824 atau 16% dari murid adalah aristoksari dan pegawai yang diandang sebagai priyai sedangkan 84% dari anak-anak berasal dari golongan orang biasa. Di luar Jawa perbedaan antara kaum ningrat dan orang biasa tidak begitu nyata, bahkan sering sukar untuk membedakan kedua golongan itu. Pada tahun 1888 di luar Jawa 2.423 murid atau hanya kira-kira 9% dari seluruh populasi sekolah berasal dari golongan atas. Sebagian besar dari murid-murid bahkan berasal dari golongan rendah.
     Perbandingan jumlah sekolah menunjukkan bahwa setidak-tidaknya sampai 1892 lebih banyak sekolah di luar Jawa. Pada tahun 1877 di Jawa terdapat 205 sekolah, di luar jawa 311. Sampai 1892 jumlah sekolah tidak bertambah akibat krisis ekonomi. Jumlah sekolah yang banyak diluar jawa disebabkan oleh kegiatan misionaris, khususnya di bagian timur Indonesia. Pada tahun 1882 di Minahasa terdapat 111 sekolah sedangkan di keresidenan Jakarta hanya 6 buah. Akan tetapi sesudah 1892 Jawa lambat laun menjadi pusat pendidikan dalam segala aspek.
Jumlah putus sekolah sangat tinggi, lebih dari 70% dari populasi sekolah. Drop-out banyak dikelas 1(sekitar 65%), di kelas 2 sekitar 20% dan dikelas 3 kira-kira 15%. Alas an keluar antara lain sakit, usia tua, perkawinan gadis-gadis pada usia muda, kuang minat orangtau maupun murid akan pendidikan, tidak adanya pakaian. Akan tetapi alas an terpenting adalah diperlukannya tenaga anak di rumah, di sawah, atau dalam pekerjaan lain. Selama periode lima tahun antara 1888 dan 1892 sejumlah 5.076 ijazah diberikan kepada lulusan atau rata-rata seribu setahun, dintaranya 600 buah di Jawa dengan penduduk 24 juta atau rata-rata ijazah sekolah rendah tiap 40.000 penduduk.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
       Sekolah rendah sebelum 1892 sekolah yang sederhana, sering dengan gedung dan fasilitas yang tidak memadai. Murid-murid terutama terdiri atas laki-laki. Setidaknya sampai 1892 jumlah sekolah di luar Jawa melebihi jumlah sekolah di Jawa, akan tetapi sesudah itu lambat laun Jawa menjadi pusat pendidikan.
       Sekolah rendah sebelum 1892 diizinkan memperluas programnya sehingga mendekati rencana pelajarn Sekolah Guru., kecuali ilmu mendidik. Sekolah rendah yang semula yang dimaksud untuk pendidikan anak kaum priyai kemudian kebanyakan dimasuki oleh anak-anak golongan rendah. Krisis ekonomi pada akhir abad ke-19 memaksa Belanda untuk mengadakan diferensiasi dalam pendidikan anak-anak golongan atas dan golongan rendah. Yang pertam dikenal sebagai Sekolah Kelas Satu dan yang terakhir Sekolah Kelas Dua.

B.     SARAN
     Mahasiswa diharapkan mengetahui sejarah, apalagi tentang sejarah pendidikan Indonesia karena seiring berkembangnya tekhnologi pendidikan di Dunia khususnya di Indonesia terus berubah mengikuti perkembangan tersebut, sehingga lambat laun sejarah pendidikan Indonesia akan terlupakan. Dengan adanya makalah yang Saya sajikan ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui sejarah singkat pendidikan di Indonesia sebelum reorganisasi 1982.


DAFTAR PUSTAKA
Nasution. 2005.Sejarah Pendidikan Indonesia.Jakarta.Rineka Cipta.